Majalah Sastra: Nasibmu Kini


Siapa yang seharusnya bersedih? Sebab matinya majalah sastra di Indonesia. Selain sastrawan, para penikmat dan pemerhati karya sastra. Siapa lagikah yang harus bersedih?
Kesusastraan Indonesia masih dipandang sebelah mata. Begitu juga karya sastra (puisi, prosa, novel, dan lainnya) masih dianggap sebagai kekayaan hasil karya intelektual yang tidak penting. Bahkan, hingga saat ini, teks Sumpah Pemuda tahun 1928 yang disebut-sebut puisi masih jauh panggang dari api.
Pada mulanya, ada beberapa majalah sastra yang dicetak dan diterbitkan, namun tak sanggup bertahan lama. Ada yang terbit beberapa tahun ke depan. Ada pula yang hanya terbit tak sampai setahun. Akar masalahnya hampir seragam: minimnya jumlah pembeli, persaingan marketingdan besarnya biaya operasional yang sering dikeluhkan pengelolanya.
Pemerintah seperti pura-pura atau sengaja menutup mata. Sudah semestinya pemerintah, melalui kementerian terkait, turun tangan guna menunjukkan peran dan fungsinya untuk memberikan dan menciptakan solusi agar majalah sastra tidak berguguran satu demi satu.
Sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, dan lainnya) membutuhkan ruang untuk mensosialisasikan dan mempublikasikan karya-karyanya agar bisa dibaca khalayak banyak. Terutama pecinta karya sastra dan pemerhati karya sastra.
Majalah sastra adalah merupakan media yang menghubungkan sastrawan, melalui publikasi karya sastra, dengan pembaca dan pecinta serta pemerhati karya sastra. Banyak sastrawan yang kemudian punya nama besar yang memulai karirnya dengan cara mempublikasikan karya-karyanya di majalah-majalah sastra yang terbit di berbagai daerah dan ibukota.
Entah sampai kapan dunia sastra Indonesia mengalami kisah sedih? Profesi sastrawan sama mulianya dengan profil dosen, guru, olahragawan, menteri dan bahkan presiden.
Meski tanpa majalah sastra, para sastrawan tetap terus berkarya. Semangat sastrawan-sastrawan tidak akan surut, meski majalah sastra telah susut. Misalnya, Horison yang telah menghentikan cetaknya, kini beralih ke versionline.
Versi online menjadi pilihan lantaran tidak menghabiskan biaya operasional yang banyak, jika dibandingkan versi cetak. Selain itu, kecanggihan teknologi harus dimanfaatkan. Sebab data-data atau informasi lainnya tentang karya sastra di versi online bisa saja copy pastedisimpan melalui hardisk atau flashdisk. Tetapi majalah sastra versi cetak tetap masih menjadi perhatian sastrawan, karena versi cetak pun sama pentingnya.
Kini, sudah saatnya pemerintah berlaku adil terhadap kesenian (majalah sastra) mengenai pembiayaan atau kontribusi pendanaan. Hal ini jika dilihat murah hatinya pemerintah di bidang olahraga sepakbola, misalnya, yang sampai di akhir tulisan ini masih miskin prestasi.
Depok, Agustus 2016
Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar