Ada kalimat menarik yang saya baca melalui groupWhatsApp “Ruang Sastra” yang digagas dan digawangi penyair Mustafa Ismail. Kalimat yang dikirim Muslih MIA, seorang anggota group WhatsApp “Ruang Sastra” tertulis begini: Beberapa waktu yang lalu, ada kawan yang berkomentar jika ingin menjadi penyair maka harus miskin, terbuang dari kehidupan dan menderita secara ekonomi. Saya tidak menyetujui, juga tidak membantah, bagaimana dengan pendapat kawan-kawan?
Jelas, Muslih MIA tidak ingin menjawab pernyataan itu sendirian, meski bukan tidak mungkin ia sudah punya jawaban, tetapi ia ingin mencari tahu jawaban atau pendapat dari orang lain yang tergabung dalam groupWhatsApp “Ruang Sastra” itu dengan melontarkan pertanyaan: Bagaimana dengan pendapat kawan-kawan?
Pertanyaan di atas mendapat respons sangat beragam. Ada yang memberi respons serius, ada pula yang merespons dengan nada gurauan.
Jika penyair harus miskin, bahkan harus terbuang dari kehidupan di sekitarnya dan menderita secara ekonomi. Waduh, siapa yang mau menjadi penyair? Setiap orang yang berprofesi sebagai apa pun tidak menginginkan kehidupan yang miskin. Kata “harus” yang digunakan pada kalimat itu sangat rancu dan “berbahaya”. Apakah penyair tidak boleh kaya, maka penyair “harus” miskin.
Lalu, bagaimana penyair bisa “merekam” peristiwa-peristiwa realitas yang terjadi di sekitarnya jika “harus” pula terbuang, terasing atau mengasingkan diri? Penyair bukan “seniman kamar”.
Penyair mesti bisa terlibat langsung atau tidak langsung untuk menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian di lingkungan tempat tinggalnya (desa, kota dan negara). WS. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Widji Thukul –saya sebutkan tiga nama saja– acapkali turut terlibat langsung dan menyaksikan perubahan-perubahan atau peristiwa-peristiwa sosial, kultural, dan lainnya yang berlangsung di sekelilingnya. Hal semacam itu sangat perlu dilakukan penyair untuk menambah pengetahuan dan referensi ketika menulis puisi. Sebab puisi kerapkali bermula dari peristiwa atau pengalaman emperik penyairnya. Puisi tidak semata-mata imajinasi atau hayalan.
Jadi penyair jangan miskin (secara materi atau intelektualitas). Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, tidak mungkin bisa kaya jika hanya mengandalkan dari honorarium puisi dari media massa. Maka, penyair harus punya profesi lain, misalnya menjadi dokter, bidan, pengacara, wartawan, dosen, guru, atau profesi lainnya.
Meski materi yang cukup atau bahkan berlebih itu tidak dihasilkan penyair dari menulis puisi, sebab semua penyair tahu bahwa honorarium yang diterima penyair dari media massa yang memuat puisinya tidak besar. Hanya cukup “buat ngopi”.
Harus disadari oleh siapa saja sejak awal ketika menentukan pilihan untuk menjadi penyair. Itu artinya setiap penyair harus mampu “menghidupi” puisi-puisinya. Terlebih lagi jika si penyair berkeinginan menerbitkan buku antologi puisi secara mandiri. Fenomena ini kini tengah populer di kalangan penyair, di berbagai daerah dan kota, di Indonesia. Langkah ini ditempuh penyair sebagai alternatif, sebab penerbit-penerbit besar banyak yang tidak mau menerbitkan buku antologi puisi dengan alasan kurang diminati dan tidak laku dijual. Tentu saja penerbit tidak mau menanggung rugi. Hanya beberapa penyair yang punya nama besar dan terkenal saja yang punya kesempatan puisi-puisinya bisa diterbitkan oleh penerbit besar. Tapi, jangan terlalu berharap bisa menerima royalti yang tinggi.
Jika penyair ingin kaya dari hasil menulis puisi, maka penyair harus bisa membuat puisinya berharga mahal. Atau jika ada yang mengundang di acara pentas pembacaan puisi, penyair jangan sungkan-sungkan untuk menentukan tarifnya. Mungkinkah yang demikian ini bisa terjadi di negeri ini? Segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Misal, sebuah lukisan bisa terjual dengan harga yang mahal, karena memang pelukisnya memasang harga mahal. Tidak murah. Pelukis melakukan hal itu bukan tanpa resiko. Resikonya besar, inilah keberanian. Bisa saja lukisannya tidak ada yang membeli. Lukisannya hanya akan terpajang di galeri miliknya atau akan menumpuk dijajah debu di gudang.
Tujuan utama penyair menulis puisi bukan untuk menjadi kaya atau mencari kekayaan. Tapi cukup beralasan jika penyair menginginkan puisi-puisinya dihargai. Bagi penyair, puisi adalah media atau alat untuk menyuarakan pikiran-pikirannya. Penyair mengabadikan perubahan-perubahan atau realitas peristiwa yang terjadi di sekelilingnya melalui puisi.
Soal ingin menjadi kaya secara materi tentu saja hal itu menjadi keinginan semua seniman. Tidak hanya penyair. Sebab itu sangat penting untuk menunjang kehidupan yang layak bagi seniman. Apalagi jika sudah memasuki usia tua. Biasanya produktivitas berkarya juga menurun. Seniman hampir mirip nasibnya dengan atlet, ketika masih muda dan bisa berkarya mengharumkan bangsa di kancah internasional kerapkali dipuja-puja bagai dewa. Tapi ketika sudah tua dan tidak bisa berkarya dilupakan begitu saja.
Nah, harus diketahui oleh calon penyair agar nantinya tidak kecewa ketika sudah menjadi penyair sungguhan. Penting pula untuk diketahui bahwa puisi tidak lebih lezat dan nikmat dibanding sepotong pizza. Tapi masih saja ada generasi muda yang belajar menulis puisi secara serius dan berkeinginan menjadi penyair. Sebab, sekali lain, puisi tidak bisa menentukan penyairnya menjadi kaya, maka penyair harus punya profesi lain yang menguntungkan. Tulisan ini akan saya sudahi dengan mengutip pernyataan penyair Nur Zen beberapa tahun silam bahwa di Indonesia sudahterjadi inflasi penyair.
Depok, 20 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar