Banyak cara mengemas sebuah acara kesusastraan agar menarik perhatian publik, dengan menggunakan label-label semenarik mungkin. Seperti “tadarus puisi”, “pengajian puisi”, “pengajian pop”, dan semacamnya. Fenomena itu sudah muncul di era akhir 80-an.
Acara-acara yang menggunakan term itu muncul di berbagai kota di tanah air. Semangat religiusitas kaum muda dalam mengekspresikan bulan Ramadhan denganterm atau idiom yang sesuai dengan “napas” mereka.
Tidak perlu repot-repot mencari dasar hukumnya, halal atau haram, bid’ah atau tidak. Dalilnya jelas bahwa kaum muda itu butuh suport atau dorongan semangat, maka mereka dengan kreatif mengemas acara pengajian yang dirangkai dengan pembacaan syair dan puisi. Tentu saja syair dan puisi yang dilantunkan adalah syair dan puisi religius yang dapat menumbuhkembangkan semangat beribadah di bulan Ramadhan.
Term tadarus puisi yang diadakan dihampir setiap komunitas sastra hingga kini bukan ingin mesejajarkan syair dan puisi dengan firman Tuhan dalam kitab suci Quran. Term tadarus puisi menjadi semacam kekenesanatau kegenitan para penyair untuk “memesrai” Tuhan melalui syair dan puisi. Term tersebut hanyalah teks kultural yang dengan sadar sengaja digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, membuka kesadaran nilai-nilai religiusitas.
Penyair Mustafa Ismail memberi garis batas pembeda antara tadarus puisi dengan pembacaan puisi pada umumnya. Jika pembacaan atau pementasan puisi pada umumnya dilakukan di atas panggung atau di atas mimbar, maka tadarus puisi dilakukan dengan cara duduk bersila di tempatnya semula, membaca puisi secara bergantian dan tidak harus di atas panggung.
Hal itu terlihat pada acara Tadarus Puisi 8 Kota yang diselenggarakan Griya Litera di kawasan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Sabtu (18/6/2016). Diawali penyair Fikar W. Eda yang membacakan “Syair Perahu” karya penyair sufi asal Aceh Hamzah Fansuri, yang kemudian “Syair Perahu” tersebut dibacakan secara estafet oleh para penyair yang hadir.
Tetapi tidak “diharamkan” bagi penyair yang ingin membacakan puisi karyanya, seperti yang dilakukan Asrizal Nur, Kurnia Effendi, Abah Yoyok, dan yang lainnya.
Diharapkan tradisi term tadarus puisi tidak padam, harus terus berkobar dalam kesucian dan keberkahan sepanjang bulan Ramadhan. Aamiin….
0 komentar:
Posting Komentar