Rumah Seni Asnur menggelar diskusi “Sastra dan Islam”. Tidak tanggung-tanggung, diskusi tersebut menampilkan narasumber yang mumpuni, yakni Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, dan dimoderatori Mahrus Prihany, Minggu (26/6/2016).
Penyair nyentrik Sutardji Calzoum Bachri menyatakan bahwa mengenal Tuhan adalah soal rasa. “Rasa itu tidak sama dengan yang dirasakan masing-masing manusia,” katanya.
Sementara itu, kehilangan lagu-lagu tradisi telah menjadikan bangsa Indonesia kehilangan pegangan. “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang membunuh kebudayaannya sendiri,” tutur Abdul Hadi WM.
Senada dengan Abdul Hadi WM, penyair dan budayawan Ahmadun Yosi Herfanda menganggap pentingnya tembang-tembang dolanan yang diciptakan para walisongo.
“Tembang Ilir-Ilir yang diciptakan Sunan Bonang punya peran penting,” kata Ahmadun Yosi Herfanda yang akrab disapa AYH. “Puisi adalah doa yang seringkali kemudian terjadi dan dialami penyairnya,” sambung AYH.
Diskusi yang berlangsung hangat dan penuh keakraban tersebut harus jeda seiring kumandang adzan Maghrib. Para seniman dan hadirin dipersilakan menikmati hidangan takjil dan berbuka puasa bersama di teras Rumah Seni Asnur.
Setelah berbuka puasa bersama dan salat Maghrib, diskusi sesi kedua kembali dilanjutkan. Kurnia Effendi yang kebagian bicara di sesi ini menyatakan bahwa ketika puisi penuh pujian kepada Tuhan, maka puisi akan lebih bermakna dan berisi.
“Puisi atau karya sastra harus menyampaikan pesan moral,” ujar Kurnia Effendi.
Diskusi tersebut kemudian dilanjutkan dengan pentas baca puisi para penyair dan seniman yang hadir, yakni Mustafa Ismail, Jose Rizal Manua, Endang Supriyadi, Jimmy S Johansyah, Shobir Poer, Imam Ma’arif, Budi Setyawan, Ace Sumanta, Rara Gendis Danerek, Tora Kundera, Ade Novi, Chairil Gibran Ramadhan, dan lain-lain hingga hampir tengah malam acara berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar